Beranda | Artikel
Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah Al-Kubra - Kesulitan Mendatangkan Kemudahan (Kaidah 3)
Rabu, 26 Desember 2018

Kaidah 3

اَلْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْرَ

Al-Masyaqqatu Tajlibut Taisir

(Kesulitan Mendatangkan Kemudahan)

Sesungguhnya Allah telah menurunkan agama kepada umat manusia. Bersamaan dengannya, Allah menurunkan pula beban-beban syariat kepada manusia agar manusia bisa beribadah dengannya. Meskipun demikian, seluruh syariat-syariat yang dibebankan kepada umat manusia tersebut khususnya umat Islam jika direnungkan akan dijumpai kebijaksanaan Allah yang sangat besar, walaupun sebagian manusia menganggapnya berat. Allah melarang meminum khamr, melarang berzina, mengharamkan musik, hakikatnya itu semua maslahatnya kembali kepada hamba. Allah tahu apa yang terbaik bagi hambaNya, Allah tahu dimana letak kebahagiaan hambaNya, dan Allah tahu hamba bisa melaksanakan segala perintahNya serta menghindari segala laranganNya. Karena sesungguhnya Islam adalah agama yang mudah.

Ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa agama Islam adalah agama yang sangat mudah, terlebih apabila dibandingkan dengan agama yahudi, nasrani, dan agama-agama lainnya. Sebagai contoh dalam masalah menyikapi wanita haidh, maka agama Islam adalah agama yang wasath (berada di pertengahan) antara agama Yahudi dan Nasrani. Yahudi dalam menyikapi wanita haidh mereka berlebih-lebihan, mereka benar-benar menjauhinya, tidak mengajaknya makan, tidak diajak tidur bersama, apalagi bermesraan dengannya apabila istrinya tersebut haidh. Lain pula dengan Nasrani yang begitu bermudah-mudahan, antara yang haidh dan tidak sama saja, bahkan mereka tetap mencampuri istri-istri mereka di kemaluannya walaupun dalam keadaan haidh.

Islam datang dengan sikap pertengahan antara Yahudi dan Nasrani. Wanita haidh dilarang untuk digauli di kemaluannya akan tetapi diperbolehkan apabila digauli pada bagian yang lain, diajak makan tidak masalah, diajak tidur bersama pun tidak mengapa. Sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi kepada ‘Aisyah saat dia haidh. ’Aisyah radhiyallahu ‘anha menceritakan,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حِضْتُ يَأْمُرُنِي أَنْ أَتَّزِرَ، ثُمَّ يُبَاشِرُنِي

“Apabila saya haid, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruhku untuk memakai sarung kemudian beliau bercumbu denganku.” (HR Ahmad 25563, dinilai shahih oleh Al-Albani)

Ini adalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang berada di pertengahan antara yang ifrath (berlebih-lebihan) dan tafrith (bermudah-mudahan). Nabi bersabda,

إِنِّي أُرْسِلْتُ بِحَنِيفِيَّةٍ سَمْحَةٍ

“Aku diutus dengan (membawa agama) hanifiyyah yang mudah.” (HR Ahmad no. 25962)

Asas kemudahan ini pula lah yang menjadi dasar agama ini. Allah menurunkan agama Islam bersama dengan kemudahan-kemudahan. Allah berfirman,

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS Al-Baqarah : 185)

Allah juga berfirman,

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS Al-Hajj : 78)

Nabi bersabda,

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا ، وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍ مِنَ الدُّلْجَةِ

Sesungguhnya agama (Islam) mudah, tidak ada seorang pun yang hendak menyusahkan agama (Islam) kecuali ia akan kalah. Maka bersikap luruslah, mendekatlah, berbahagialah dan manfaatkanlah waktu pagi, sore dan ketika sebagian malam tiba.” (HR Bukhari no. 39)

Jenis Kemudahan

Kemudahan (At-Takhfif) dalam Islam yang diberikan oleh Allah secara garis besar dimaksudkan dalam dua hal, yaitu :

1. اَلْأَصْلُ (Al-Ashl) ; agama Islam pada asalnya adalah agama yang mudah

Telah dibahas sebelumnya bahwa agama Islama adalah agama yang mudah. Inilah maksud dari kemudahan yang diberikan oleh secara ashl yaitu pada asalnya Islam itu keseluruhannya adalah agama yang sangat mudah. Sebagai contoh, shalat wajib yang dibebankan kepada umat Islam hanyalah 5 waktu dalam sehari yang awalnya 50 waktu. Bersamaan dengan itu, 5 waktu tersebut tetap bisa senilai pahala 50 waktu. Dalam sebuah hadits

ففرض الله عز وجل على أمتي خمسين صلاة فرجعت بذلك حتى مررت على موسى فقال : ما فرض الله لك على أمتك ؟ قلت : فرض خمسين صلاة ، قال : فارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك ، فراجعت فوضع شطرها ، فرجعت إلى موسى ، قلت : وضع شطرها ، فقال : راجع ربك فإن أمتك لا تطيق ، فراجعت فوضع شطرها ، فرجعت إليه ، فقال : ارجع إلى ربك فإن أمتك لا تطيق ذلك ، فراجعته ، فقال : هي خمس ، وهي خمسون ، لا يبدل القول لدي ، فرجعت إلى موسى ، فقال : راجع ربك ، فقلت : استحييت من ربي

“Allah mewajibkan atas umatku 50 shalat dan aku kembali dengan perintah itu, sampai aku melewati nabi Musa di mana dia bertanya, “Apa yang Allah wajibkan kepada umatmu?” Aku menjawab, “Allah mewajibkan 50 shalat.” Musa berkata, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa dan berkata, “Allah telah menghapuskan sepatuhnya.”

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah menghapuskan separuhnya dan aku kembali kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu, karena umatmu tidak akan kuat atas perintah itu.” Maka aku kembali dan Allah berkata, “Shalat itu lima (waktu) dan dinilai lima puluh (pahalanya) dan perkataan-Ku tidak akan berganti.” Aku kembali lagi kepada Musa.

Musa berkata lagi, “Kembali kepada tuhanmu.” Namun aku berkata, “Aku sudah malu kepada tuhanku.” (HR Bukhari no. 342 dan Muslim no. 163)

Contoh lainnya adalah puasa ramadhan. Puasa dibebankan kepada umat Islam sebagai bukti penghambaannya kepada Allah. Bersamaan dengan itu, puasa hanya diwajibkan satu bulan penuh, tidak satu tahun. Demikian pula zakat hanya diwajibkan membayarkan 2,5% dari total harta kita apabila telah mencapai nishab.

2. اَلطَّارِئُ (At-Thari’) ; keringanan tambahan karena ada sebab

Selain keringanan yang secara asal telah melekat pada Islam, Allah juga memberikan keringanan-keringanan tambahan pada syariat-syariat tertentu karena adanya sebab-sebab tertentu. Diantara bentuk keringanan tersebut adalah:

  • اَلْإِسْقَاطُ (pengguguran)
    Contohnya, orang yang sakit, orang yang sedang melakukan perjalanan (musafir), dan seorang budak, digugurkan dari mereka kewajiban shalat jumat. Contoh lain, orang yang miskin atau tidak mampu, tidak diwajibkan bagi mereka menunaikan ibadah haji.
  • اَلتَّنْقِيصُ (pengurangan)
    Contohnya, seorang musafir diperbolehkan baginya mengurangi jumlah rakaat pada shalat dhuhur, ashar, dan isya yang dia lakukan (shalat qashar).
  • اَلتَّقْدِيْمُ وَ التَّأْخِيْرُ (mendahulukan dan mengakhirkan)
    Contohnya, pada shalat jamak, diperbolehkan apabila ada hajat untuk mendahulukan shalat ashar ke waktu dhuhur, atau mengakhirkan shalat dhuhur ke waktu ashar. Contoh lain, diperbolehkan bagi seseorang yang ingin membayar zakat sebelum waktunya (sebelum haul setahun) jika sudah mencapai nishab.
  • اَلتَّرْخِيْصُ (keringanan)
    Contohnya, jika ada najis yang sedikit yang susah dihilangkan maka seperti ini syariat memberi keringanan dan memaafkan apabila tidak bisa benar-benar bersih.
  • اَلتَّغْيِيْرُ (perubahan)
    Contohnya, shalat khauf saat peperangan, sifat shalat khauf memiliki bentuk yang berbeda dengan shalat pada umumnya, bahkan apabila perang terus berkecamuk, diizinkan baginya shalat di atas kendaraannya dengan sifat shalat semampunya.
  • اَلْإِبْدَالُ (penggantian)
    Contohnya, apabila seseorang tidak sanggup mandi atau berwudhu maka boleh digantikan dengan tayammum.
  • اَلتَّخْيِيْرُ (pilihan)
    Contohnya, pada kaffarah melanggar sumpah, diperbolehkan baginya memilih ingin membayar kaffarah dengan memberi makan 10 orang miskin, atau memberi pakaian 10 orang miskin, atau membebaskan budak, sebelum berpindah pada pilihan untuk berpuasa tiga hari. 

Sebab-Sebab Keringanan

Diantara sebab-sebab sehingga Allah menurunkan keringanan kepada para hambanya dengan berbagai macamnya, yaitu:

  • Karena sakit
  • Karena safar
  • Karena lupa
  • Karena ketidaktahuan
  • Karena dipaksa
  • Karena umum dialami di tengah manusia (مَا تَعُمُّ بِهِ الْبَلْوَى) dan hampir tidak bisa dihindari.

Kaidah-Kaidah Turunan dari Kaidah Ketiga

1. إِذَا ضَاقَ الْأَمْرُ اِتَّسَعَ (Jika kondisi sempit maka diberikan kelapangan)

Contohya, disyariatkannya shalat qashar untuk seorang musafir yang sedang melakukan perjalanan demikian pula shalat khauf ketika perang dengan tata caranya yang berbeda dengan shalat pada umumnya. Allah berfirman,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلَاةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا ۚ

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (QS An-Nisa’ : 101)

Contoh lain, seseorang yang tidak sanggup melunasi hutangnnya pada tempo yang telah ditentukan. Kemudian dia meminta temponya diperpanjang, maka wajib bagi orang yang menghutanginya untuk menambah tempo waktu pelunasannya, Allah berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيْسَرَةٍ ۚ وَأَن تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 280)

2. اَلضَّرُوْرَاتُ تُبِيْحُ الْمَحْظُوْرَاتِ (Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang sebelumnya haram)

Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana nyawanya, agamanya, atau hartanya bisa terancam. Apabila seseorang mengalami keadaan seperti ini maka diperbolehkan baginya untuk mengambil keharaman tersebut sekadar kebutuhannya (sebagaimana kaidah berikutnya). Allah berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Allah juga berfirman,

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ لِّإِثْمٍ ۙ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Maidah : 3)

Sebagai contoh, seseorang yang tersesat di tengah hutan tanpa bekal makanan atau kehabisan bekal makanan. Agar dia tetap bertahan hidup, dia harus tetap makan makanan, namun yang dijumpai hanya babi dan tidak menjumpai makanan halal lainnya. Maka pada saat itu diperbolehkan baginya makan daging babi tersebut sekadar kebutuhannya.

3. اَلضَّرُوْرَاتُ تُقَدَّرُ بِقَدَرِهَا (Darurat harus diukur seperlunya saja)

Kaidah ini adalah pelengkap kaidah sebelumnya. Keharaman yang boleh dikonsumsi karena darurat hanya diperbolehkan sebatas kebutuhannya, tidak boleh lebih dari itu atau bahkan berpuas-puas dengannya. Allah berfirman,

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ۖ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah : 173)

Seperti pada contoh sebelumnya, babi yang dia makan karena keadaan darurat tidak boleh melebihi kebutuhannya. Kebutuhannya adalah hanya sampai pada kadar yang membuat dia tetap bertahan hidup, dia tidak boleh melampaui batas dan makan sampai kenyang, sebagaimana yang telah diisyaratkan di dalam ayat.

Contoh lainnya, seperti seorang wanita yang harus membuka auratnya untuk kebutuhan pemeriksaan oleh Dokter, maka yang dibuka adalah hanya bagian yang akan diperiksa saja tidak boleh lebih dari itu.

Bersambung insya Allah…

Logo

Artikel asli: https://firanda.com/2446-al-qawaid-al-fiqhiyyah-al-kubra-kesulitan-mendatangkan-kemudahan-kaidah-3.html